Ekaristi dan Evangelisasi
Evangelisasi 7:53 AM
Mewartakan Injil sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan
yang khas bagi Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam. Gereja ada
untuk mewartakan Injil, yakni untuk berkhotbah dan mengajar, menjadi
saluran kurnia rahmat, untuk mendamaikan para pendosa dengan Allah dan
untuk mengabadikan kurban Kristus di dalam Misa, yang merupakan kenangan
akan kematian dan kebangkitan-Nya yang mulia (Imbauan Apostolik EVANGELII NUNTIANDI [MEWARTAKAN INJIL, EN], 14)
Makna evangelisasi jauh lebih luas dan mendalam daripada sekedar
khotbah yang berapi-api dari atas mimbar, atau pengajaran berkaitan
dengan Injil, atau memberitakan/mewartakan Yesus Kristus secara pribadi
lewat proses komunikasi antar-pribadi (dalam hal evangelisasi pribadi).
Evangelisasi sesungguhnya berarti membawa kasih Allah sendiri ke dalam
kehidupan manusia.
Imbauan Apostolik dari Paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, secara singkat menyoroti peranan sakramen-sakramen dalam evangelisasi:
“… tidak pernahlah cukup hanya menekankan bahwa evangelisasi tidak
hanya terdiri dari khotbah dan mengajarkan suatu doktrin. Karena
evangelisasi harus menyentuh kehidupan: kehidupan kodrati, yang diberi
suatu arti yang baru, berkat perspektif-perspektif Injil yang
diwahyukannya. Hidup adikodrati, bukan merupakan penyangkalan tapi
pemurnian dan pengangkatan hidup kodrati.
Hidup adikodrati ini menemukan ungkapannya yang hidup dalam tujuh
sakramen dan di dalam pancaran rahmat yang mengagumkan dan kesucian yang
dimiliki sakramen-sakramen.
Demikianlah evangelisasi melaksanakan kemampuannya sepenuh-penuhnya
bila menghasilkan hubungan yang amat akrab atau lebih baik suatu
komunikasi timbal balik dan tetap, antara Sabda dan Sakramen-sakramen”
(EN, 47).
Dalam tulisan ini kita akan melihat hubungan antara evangelisasi dan salah satu Sakramen, yaitu Ekaristi.
Evangelisasi boleh dikatakan berhasil, kalau orang yang
dievangelisasi tersebut tidak hanya percaya kepada kebenaran-kebenaran
Injil, melainkan juga dalam kehidupannya sehari-hari menghayati
kebenaran-kebenaran Injil tersebut dalam kasih. Seperti ditulis oleh
Santo Paulus: “… dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih”
(Ef 4:15).
Kasih yang memberikan-diri-sendiri. Injil
adalah kebenaran hidup, oleh karena itu harus dipercayai. Injil adalah
kebenaran kasih, oleh sebab itu harus dihayati dalam kasih, yaitu kasih yang memberikan-diri-sendiri.
Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita membangun
tubuh Kristus (Ef 4:15). Kasih yang memberikan-diri-sendiri itu tidak
datang dengan sendirinya, kecuali kalau kita membawanya. Kita harus
membawanya ke dalam hidup perkawinan kita; komunitas religius di mana
kita adalah anggota, lingkungan, wilayah dan paroki kita;
komunitas-komunitas kita lainnya yang bersifat kategorial; tempat kerja
kita; kehidupan ekonomi, sosial dan politik kita.
Pada waktu kita membawanya ke dalam dunia kita sehari-hari, maka
kasih yang memberikan-diri-sendiri itu sebenarnya merupakan pemberitaan
Injil kepada dunia, seperti halnya dengan pemberian-diri-sendiri oleh
Tuhan kita di Kalvari dan dalam Ekaristi. Kasih yang memberikan diri
sendiri itu akan membawa orang kepada Kristus. Mereka mengamati serta
mencermati tindak-tanduk kita, kemudian mulai bertanya-tanya kepada kita
sekitar apa dan siapa yang kita imani ……dan akhirnya pembicaraan pun
akan sampai kepada Kristus.
Kalau kasih yang memberikan-diri-sendiri oleh seorang manusia akan
mampu membawa orang kepada Kristus, sehingga pantas disebut sebagai
pemberitaan Injil (evangelisasi), maka terlebih lagi kasih
pemberian-diri-sendiri dari Kristus sendiri dalam Ekaristi. Oleh karena
itu, seorang imam dominikan, Pater Paul Hinnebusch OP, lebih dari satu
dekade lalu menyatakan, bahwa tindakan evangelisasi tertinggi (baca:
paling sempurna) adalah Kurban Yesus di kayu salib.
Mengapa? Evangelisasi adalah pewartaan Injil, yaitu kabar baik kasih
Allah bagi kita. Kenyataan menunjukkan, bahwa pewartaan
kasih-yang-menebus ini secara paling sempurna ditunjukkan oleh kematian
Tuhan sebagai kurban, ketika memberikan-diri-Nya secara total bagi kita
pada kayu salib di Kalvari, jadi dalam Ekaristi juga.
Evangelisasi adalah pemberitaan Injil yang adalah Kabar Baik!
Kabar Baik tentang apa dan siapa? Kabar Baik tentang rekonsiliasi atau
pendamaian dengan Allah melalui darah Yesus, darah-Nya yang dicurahkan
sebagai silih atas dosa-dosa kita. Rekonsiliasi di sini berarti reuni
kita dengan Allah dalam kasih, yaitu kasih Allah yang “telah dicurahkan
di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita”
(Rm 5:5), yang dikaruniakan kepada kita dari hati Yesus yang ditembus
tombak di kayu salib. Jadi evangelisasi adalah pemberitaan tentang kasih
Allah yang disampaikan kepada dunia dalam Kristus Yesus, Putera-Nya
yang menjadi kurban tebusan dan membawa kita ke dalam kesatuan
dengan-Nya dalam kasih. Pewartaan paling mengesankan dari kasih Allah
yang menebus dan memperdamaikan adalah kurban Yesus di kayu salib:
“Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Kematian Kristus sebagai kurban di kayu salib merupakan pengungkapan
kasih Allah yang paling tinggi.
Ekaristi sebagai Evangelisasi. Hal
yang sama kita dapat katakan tentang Kurban Ekaristi. Ekaristi adalah
pernyataan kasih Allah paling puncak. Dengan demikian Ekaristi – seperti
Kalvari – adalah tindakan evangelisasi paling tinggi. Ekaristi adalah
pemberitaan sempurna tentang kabar baik kasih Allah. Ekaristi adalah
pemberitaan kasih Allah seperti Kalvari, karena Ekaristi merupakan
kurban sama yang identik dengan kurban Kalvari.
Ekaristi adalah pernyataan kasih ilahi kepada kita masing-masing
secara individual selagi kita mengambil bagian dalam Kurban Ekaristi,
dan Ekaristi adalah pernyataan kasih ilahi ini bagi seluruh umat Allah
hari ini, Gereja di sini dan sekarang dalam waktu kita. Mengapa? Karena
pewartaan kabar baik mengenai kasih Allah mana lagi yang lebih
mengesankan daripada sabda dan tindakan Tuhan kita sendiri di hadapan
kita yang hadir, ketika Yesus mengambil roti, mengucap syukur kepada
Bapa surgawi, lalu memecah-memecahkan roti itu dan berkata kepada kita
masing-masing secara pribadi dan kepada semua yang hadir sebagai sebuah
komunitas, “Terimalah dan makanlah; inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu.” Juga ketika Dia mengambil piala dan berkata, “Terimalah
dan minumlah: Inilah piala darah-Ku, darah Perjanjian Baru dan kekal,
yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa” (lihat Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25).
Inilah tindakan evangelisasi
yang paling sempurna, karena di sini diwartakan dengan kata-kata dan
perbuatan, keagungan tanpa batas dari kasih Allah yang penuh kerahiman
bagi kita masing-masing sebagai pribadi. Pemberian diri-Nya sendiri bagi
kita di kayu salib merupakan perbuatan yang mewartakan kasih ini bagi
dunia, namun justru kata-kata dan tindakan-tindakan Tuhan dalam Ekaristi
yang menjelaskan makna sesungguhnya dari kurban-Nya di kayu salib.
Kristus mati bukan hanya karena seseorang yang membenci-Nya dan
menyalibkan-Nya. Kristus mati secara khusus sebagai kurban silih bagi
dosa-dosa kita, dosa-dosa saya dan dosa-dosa anda. Kata-kata dan
tindakan-tindakan dalam Doa Syukur Agung pada perayaan Ekaristi
mewartakan, bahwa Dia menyerahkan tubuh-Nya bagi saya, bagi anda, dan
menumpahkan darah-Nya bagi saya dan bagi anda. Oleh karena itu kita
dapat mengatakan, bahwa Ekaristi adalah tindakan evangelisasi yang
sempurna. Ekaristi mewartakan kabar baik tentang kasih Allah. Itulah
sebabnya mengapa Santo Paulus menulis: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang” (1Kor 11:26).
Pernyataan tertinggi dari kabar baik kasih Allah bagi kita adalah
pemberian-diri Kristus bagi kita secara total. Demikian pula pernyataan
tertinggi dari kasih tersebut bagi masing-masing kita secara individual
dan bagi Gereja secara keseluruhan pada zaman sekarang dalam bentuk
pemberian-diri Kristus bagi kita, adalah pemberian diri-Nya secara total
bagi kita dalam Kurban Ekaristi, karena Ekaristi mengandung realitas
pemberian diri-Nya di kayu salib secara keseluruhan dan lengkap. Setiap
Ekaristi adalah penghadiran-kembali kurban Kalvari. Dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa kurban Ekaristi identik dengan kurban Kalvari.
Ekaristi adalah kurban yang dibuat sungguh hadir bagi kita, di sini dan
sekarang, dan yang mewartakan kasih ilahi bagi kita masing-masing secara
pribadi; dan terlebih-lebih kepada kita diberikan kasih dalam bentuk
pemberian diri-Nya secara total bagi kita.
Dalam Ekaristi, Yesus menghadirkan diri-Nya kepada kita dalam
tindakan kurban tubuh-Nya dan penumpahan darah-Nya. Itulah sebabnya
mengapa kita menyebutnya sebagai Kurban Ekaristi. Ekaristi adalah
tindakan aktual dari Tuhan yang memberikan diri-Nya sebagai kurban bagi
kita semua – umat-Nya – dan kepada masing-masing kita secara pribadi.
Kristus mentransformasikan kita. Pada perayaan Ekaristi, Yesus berkata kepada masing-masing pribadi yang hadir: “Josef Sunarwinto, inilah tubuh-Ku yang diberikan kepadamu; Alex Rudatin, inilah darah-Ku yang ditumpahkan untuk-Mu; Lucie Windoe, inilah tubuh-Ku yang dikurbankan bagimu; Thomas Wahyono, inilah darah-Ku ……………” Dengan memberikan diri-Nya kepada kita dalam Ekaristi, Yesus bermaksud mengubah kita menjadi diri-Nya sendiri, sehingga kita menjadi tubuh-Nya. Bilamana kita makan makanan biasa, kita mengubah makanan itu menjadi diri kita sendiri. Akan tetapi apabila kita makan tubuh Kristus dalam Ekaristi, Ia justru mengubah kita menjadi diri-Nya, sehingga kita dapat menjadi satu tubuh dengan diri-Nya. Paulus menulis kepada jemaat di Korintus: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:16-17). Manakala kita makan Tubuh Ekaristis Tuhan (dalam bentuk hosti kudus), maka kita menjadi Tubuh Mistik-Nya. Maka melalui Ekaristi, kita menjadi satu tubuh dengan Kristus, satu tubuh yang dipersembahkan sebagai kurban, kurban yang menggenapi kurban-Nya, menjadi satu dengan Dia dalam pemberian-diri secara total untuk penyelamatan dunia. Menurut Pater Paul Hinnebusch OP, Tubuh Kristus yang dipersembahkan dalam Ekaristi bukanlah sekadar tubuh-Nya yang terbentuk dalam rahim Bunda Maria, dipaku di kayu salib dan bangkit mulia, melainkan juga tubuh yang dibuat lengkap dalam diri kita, Tubuh Mistik-Nya. Inilah yang dipersembahkan kepada Bapa surgawi dalam Kurban Ekaristi. Pemberian-diri Kristus pada kayu salib dibuat lengkap dalam tindakan kasih kita yang penuh penyerahan-diri satu sama lain dengan orang-orang yang kita temui (PH, hal. 16-17).
Manakala
kita makan tubuh Tuhan dan minum darah-Nya, maka yang terjadi bukanlah
sekadar bahwa Ia dapat mengkomunikasikan hidup ilahi-Nya kepada kita,
melainkan juga bahwa dalam kita dan melalui kita, Dia dapat melanjutkan
pemberian diri-Nya kepada dunia dan untuk dunia. Pada waktu kita
makan tubuh Tuhan kita dan minum darah-Nya, Dia membentuk
kasih-penuh-pengorbanan-Nya dalam diri kita. Misi kita dalam hal kasih
Kristiani adalah suatu kelanjutan dari pemberian diri-Nya di kayu salib.
Maka ketika Yesus berkata, “Terimalah dan makanlah, terimalah dan minumlah,”
sebenarnya Dia berkata, “Jadilah satu dengan Aku dalam pemberian
diri-Ku, gabungkanlah pemberian-dirimu yang penuh pengorbanan dengan
pemberian diri-Ku sebagai kurban. Jadilah satu tubuh dengan Aku, satu
dengan Aku dalam hal pemberian-diri, satu persembahan kurban dengan Aku.
Dengan kasih pemberian-dirimu bagi umat-Ku, lanjutkanlah kasih
pemberian-diriku bagi mereka.” Dengan
demikian, orang-orang Kristiani tidak dapat membatasi diri mereka
sekadar pada perayaan Ekaristi, mereka juga harus menjadi Ekaristi
bersama Kristus.
Tubuh dan Darah. Dalam
arti alkitabiah kata “tubuh” menunjukkan keseluruhan hidup. Dalam
penetapan Ekaristi, Yesus mewariskan kepada kita karunia keseluruhan
diri-Nya, sejak saat pertama inkarnasi sampai titik terakhir, termasuk
semua yang membuat hidup-Nya: keheningan-Nya dalam kesendirian-Nya,
khususnya pada waktu Dia berdoa; keringat atau peluh-Nya karena berjalan
di bawah terik matahari yang menyengat; segala kesusahan dan tantangan
yang dihadapi-Nya, terutama ketika mewartakan Kerajaan Surga dan
menyerukan pertobatan kepada orang-orang yang mengikuti-Nya; hidup
doa-Nya, perjuangan-Nya memerangi segala sakit-penyakit dan roh-roh
jahat yang membelenggu banyak orang; sukacita-Nya yang tulus; penghinaan
dari lawan-lawan-Nya yang harus ditanggung-Nya; dan lain sebagainya.
Lalu Yesus berkata: “Inilah darah-Ku”. Apa lagi yang diberikan
Yesus kepada kita dengan darah-Nya, kalau Dia sudah memberikan segenap
hidup-Nya kepada kita dengan tubuh-Nya? Dia menambahkan kematian!
Apabila darah adalah nyawa seperti pemikiran yang berlaku dalam
Perjanjian Lama [lihat Kej 9:4], maka penumpahan darah adalah tanda
kematian. Dengan demikian, Ekaristi adalah misteri tubuh dan darah
Tuhan, artinya hidup dan kematian Tuhan! Sekarang apakah yang kita
persembahkan ketika kita mempersembahkan tubuh dan darah bersama Yesus
pada perayaan Ekaristi? Dengan kata “tubuh”, berarti kita
mempersembahkan waktu kita kesehatan kita, energi kita, kemampuan kita,
perasaan-perasaan kita dan lain sebagainya. Dengan kata “darah”, kita
mengungkapkan persembahan kematian kita – namun tidak perlu berarti
kematian akhir kita. Kematian juga berarti semua hal yang sekarang
mempersiapkan dan mengantisipasi kematian kita – penghinaan yang kita
tanggung, kegagalan yang kita alami, sakit-penyakit, “terkendala” karena
usia atau kesehatan, pokoknya segalanya yang “memalukan” atau “tidak
membanggakan” kita, apabila dipandang dari kacamata dunia.
Jadi Yesus ingin agar kita melanjutkan tindakan evangelisasi-Nya yang
tertinggi, pewartaan-Nya yang sempurna tentang kasih Allah bagi dunia.
Seperti Dia mengungkapkan kasih Allah kepada dunia dalam tindakan
pemberian diri-Nya, demikian pula Dia ingin melihat agar kita
memanifestasikan kasih itu kepada dunia dalam tindakan pemberian-diri
kita dalam kesatuan dengan-Nya. Artinya kita menjadi Ekaristi bersama
Kristus.
Saling mengasihi. Sebelum sengsara dan kematian-Nya Yesus memberikan perintah baru kepada para murid-Nya: “Aku
memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling
mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu
harus saling mengasihi” (Yoh 13:34; bdk. 15:12). “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu”
(Yoh 15:9). Jadi, dengan saling mengasihi seperti Dia telah mengasihi
kita, kita bersama Yesus, menjadi pengungkapan kasih Allah bagi dunia.
Kita dapat mewartakan kasih-Nya bagi dunia, dengan mengasihi dunia
dengan kasih Bapa dan kasih Kristus.
Jadi saling mengasihi antara kita sebagai para murid seperti Kristus
telah mengasihi kita, merupakan fundamental dan tindakan evangelisasi
kita yang tertinggi. Yesus mengajarkan hal ini dengan latar belakang
perjamuan terakhir, pada saat Ia berdoa: “supaya mereka semua
menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di
dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya
bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku ……dan bahwa Engkau mengasihi
mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh 17:21.23). Bukti
terbesar perihal kebenaran Injil, tanda yang paling meyakinkan bahwa
Allah Bapa mengutus Putera-Nya ke dalam dunia, adalah kesatuan dan
persatuan Kristiani dalam kasih. Kita tidak akan pernah mampu untuk
saling mengasihi seperti Yesus mengasihi kita, seandainya Dia tidak
pernah diutus oleh Bapa-Nya, kalau Dia tidak pernah memberikan diri-Nya
bagi kita di kayu salib, dan kalau Dia tidak hidup dalam diri kita.
Orang-orang Kristiani dapat menjadi satu dalam kasih hanya karena Allah
begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya
yang tunggal (Yoh 3:16), dan sang Putera memberikan diri-Nya sendiri
secara total dalam kasih pada kayu salib dalam Ekaristi. Kita dapat
memberikan diri kita dalam kasih yang membuat kita semua satu, hanya
dalam kuasa kasih-pemberian-diri Kristus secara total pada kayu salib
dan Ekaristi itu. Tindakan saling mengasihi di antara kita para
murid-Nya seperti Kristus telah mengasihi kita merupakan tindakan
evangelisasi tertinggi, karena kesatuan kita dalam kasih menunjukkan
kepada dunia bahwa Allah mengasihi dunia dan mengutus Putera-Nya untuk
memberdayakan kita agar dapat saling mengasihi. Dengan demikian ketika
Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya dan berkata kepada kita,
“Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku,” maka seakan-akan Dia
mengatakan, “Saling mengasihilah di antara kamu seperti Aku telah
mengasihi kamu. Lanjutkanlah pemberian total diri-Ku dalam kasih dengan
pemberian-dirimu secara total dalam kasih itu. Curahkanlah dirimu dalam
pemberian diri-Ku, biarkanlah Aku mencurahkan diri-Ku dalam
pemberian-dirimu.” Jadi tindakan evangelisasi Tuhan yang sempurna –
pemberian diri-Nya pada kayu salib dan pemberian diri-Nya dalam
Ekaristi – dilanjutkan dalam pemberian-diri kita, yang dibentuk-Nya
dalam diri kita, dalam Ekaristi.
Konsekuensinya? Dalam menghayati rahmat Ekaristi, kita harus
mereproduksi dalam hidup kita sehari-hari tindakan Yesus yang memberikan
diri-Nya di kayu salib. Dan pemberian-diri dalam kasih yang kita saling
lakukan merupakan tindakan evangelisasi yang bersifat hakiki.
Tindakan-tindakan evangelisasi kita lainnya berbuah dan efektif, hanya
apabila diberdayakan oleh kasih ilahi pemberian-diri yang ada dalam hati
kita. Oleh karena itu kita dapat mengatakan, bahwa semua evangelisasi
kita mengalir dari Ekaristi. Artinya, bersumberkan kasih pemberian-diri
Tuhan sendiri yang dibentuk dalam hati kita oleh pemberian-diri Tuhan di
kayu salib yang dihadirkan kembali setiap hari dalam pemberian diri-Nya
dalam Ekaristi.
Seandainya kita sungguh menghargai kasih pemberian-diri Tuhan dalam
Ekaristi, mengapa kita sampai gagal sebagai misionaris kasih itu?
Mengapa kita gagal dalam upaya memberikan diri kita dengan cara sama
yang diberikan-Nya kepada kita? Apakah kegagalan kita untuk melakukan
evangelisasi merupakan suatu tanda kegagalan dalam menghargai
pemberian-diri Tuhan bagi kita dalam Ekaristi? Yang hakiki dan harus ada
dalam evangelisasi kita adalah membawa kasih ilahi ke dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Kasih pemberian-diri yang kita ungkapkan dalam
hidup kita sebagai seorang Kristiani merupakan yang paling efektif dari
semua bentuk evangelisasi: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya
di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan
memuliakan Bapamu yang di surga” (Mat 5:16). Kasih pemberian-diri
sebagai kurban dalam kehidupan sehari-hari kita harus ada dalam
evangelisasi, karena tanpa kasih penuh pengorbanan ini semua kata-kata
yang kita gunakan dalam pewartaan Injil – bagaimana pun indahnya – sama
saja dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (lihat
1Kor 13:1). Namun yang paling penting adalah bagaimana kita menghayati
kasih pemberian-diri Tuhan di kayu salib dan dalam Ekaristi, artinya
bagaimana kita hari demi hari menghayati misteri kasih-pengorbanan Tuhan
sebagai bagian hakiki dari evangelisasi kita. Mengapa? Karena dengan
demikian kita melanjutkan evangelisasi yang dilakukan Tuhan sendiri,
baik di kayu salib maupun dalam Ekaristi.
Catatan Penutup. Karya
evangelisasi mengandaikan di dalam diri penginjil ada suatu kasih yang
semakin besar terhadap mereka yang diberi pewartaan Injil olehnya (EN,
79). Artinya: siapa saja yang melakukan evangelisasi, siapa saja yang menghayati hidup Ekaristis, menjadi Ekaristi bagi sesama,
entah dia seorang uskup, imam, biarawan, biarawati, guru, dokter,
perawat, orangtua dan lain sebagainya, haruslah melakukan tugas
pelayanannya dalam kasih yang sejati. Hanya kasihlah yang mampu meng-evangelisasikan dunia.
Bukankah Allah adalah kasih? (1Yoh 4:8.16). Pelayanan kita yang
tanpa-pamrih dan penuh-kasih akan membawa kasih Allah kepada semua
orang, dengan demikian sedikit demi sedikit membangun ‘suatu peradaban
kasih’. Kasih yang dinamik dalam hidup sehari-hari kita adalah
evangelisasi, dalam artian bahwa tanpa hal itu Injil kasih tak akan
terintegrasikan ke dalam keseluruhan hidup manusia.
Kalau begitu halnya, mengapa dunia belum juga sepenuhnya menerima
Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat? Apakah karena petugas Gereja yang
bertugas untuk berkhotbah tidak melakukan tugas-kewajiban mereka dengan
efektif? Ada banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan sehubungan
dengan hal ini. Pater Paul Hinnebusch OP mengatakan, bahwa para
pengkhotbah yang sangat dipenuhi Roh Kudus pun akan gagal seandainya
orang-orang yang mendengarkan khotbah-khotbah mereka tidak pergi dan
menghayati-dalam-kasih segala kebenaran yang mereka terima, dan membawa
Injil kepada orang-orang lain. Imam ini kemudian mengemukakan akan perlunya kepemimpinan (catatan saya: teristimewa leadership by example). Katanya: “We
need priests and bishops and popes and theologians and teachers who are
consecrated to loving. Just as husband and wife are consecrated to
loving each other in sacrificial self-giving, so a priest is consecrated
to total self-giving to the people of God. He is consecrated to loving
Christ’s bride, the Church, with Christ’s own love. Obviously, this
living the truth of love by all of God’s people will change the world
radically. It will bring God’s own love into all human relationships.
The good news of God’s love will be expressed in all of human life. Such
love is the direct opposite of the selfishness, the greed, the
wallowing in every pleasure, the enjoying of every luxury which so
characterize our contemporary world. Only living the truth in love can
change the world and replace the violence and hatred which are tearing
the world apart” (PH, hal. 20-21).
Kita semua harus menjadi Ekaristi bagi orang-orang yang kita temui,
pertama-tama kepada para anggota keluarga kita sendiri, anggota
komunitas kita sendiri (para con-frater dsb.), tetangga yang memerlukan
bantuan, rekan-kerja, dan lain sebagainya. Kita harus mengasihi mereka
dengan tulus-hati, teristimewa mereka yang dinilai tak pantas untuk
dikasihi, yang ‘nyebelin’, ‘pain in the neck’. Semua
ini berarti pemberitaan kepada dunia suatu kabar baik tentang
kasih-yang-menebus dari Kristus melalui tindakan saling-mengasihi
antar-manusia, seperti Dia sendiri telah mengasihi kita.
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Posted by
Kasih Yesus
on
7:53 AM
.
Filed under
Evangelisasi
.
You can follow any responses to this entry through the
RSS 2.0