Bait Allah adalah Rumah DOA

Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, kata-Nya kepada mereka, “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”
Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa itu berusaha untuk membinasakan Dia, tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab semua orang terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia. (Luk 19:45-48)


Bacaan Pertama: 1Mak 4:36-37,52-59; Mazmur Tanggapan: 1Taw 29:10-12

Para seniman-lukis sering melukis Yesus sebagai seorang laki-laki yang lemah lembut, seorang gembala yang sedang mengelus-elus anak domba, gambaran yang tidak salah namun dapat menyesatkan. Mengapa? Karena Yesus dapat menjadi “berbahaya” apabila Bapa-Nya tidak dihormati dengan layak. Ia memang marah ketika memasuki Bait Allah seperti diceritakan dalam bacaan Injil di atas. Sebagai manusia seratus persen, Yesus mengalami keseluruhan aspek emosi manusia seperti kita alami. Rasa sedih, belarasa, rasa takut, sukacita, rasa takjub, dan bahkan marah – semua dikenal oleh Yesus selagi Dia hidup di atas muka bumi ini.

Kebenaran yang indah dari iman kita adalah bahwa Yesus datang ke tengah dunia untuk menebus humanitas kita, bukan untuk menggantinya dengan suatu model yang baru. Bukanlah suatu kejahatan untuk menjadi seorang manusia yang beremosi. Bayangkanlah seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Aku cinta padamu”, namun bebas dari emosi sedikitpun! Seorang pribadi manusia adalah suatu campuran dari makhluk/pengada yang badani (physical being), yang kognitif (cognitive being), yang rasional (rational being), yang beremosi (emotional being), yang rohani (spiritual being). Pada waktu Allah merancang kita dan memberkati atau menganugerahkan kepada kita berbagai emosi dengan rentangan yang cukup lebar dari ujung yang satu ke ujung lainnya, Ia pun mengumumkan bahwa hal tersebut adalah baik, malah sungguh amat baik! (lihat Kej 1:31). Marilah kita menyadari, bahwa emosi-emosi kita hanya akan menggiring kita kepada kesusahan apabila kita memperkenankan emosi-emosi itu menguasai proses pemikiran kita, jadi mengaburkan kemampuan kita untuk berjalan dalam kesatuan dan persatuan dengan Allah.

Kemarahan yang tak terkendali memang dapat memutuskan relasi kita dengan Allah, namun kemarahan Yesus di Bait Allah merupakan suatu tanggapan yang tertata dengan baik, yang mengalir dari relasinya dengan Allah. Yesus mengetahui benar bahwa area Bait Allah dimaksudkan sebagai sebuah tempat doa di mana umat yang takut akan Allah dapat berkumpul untuk melakukan rituale penyembahan kepada YHWH-Allah dan mencari intervensi-Nya dalam kehidupan mereka. Para penukar uang dan penjual hewan untuk kurban merupakan suatu aspek yang diperlukan bagi upacara penyembahan di Bait Allah, namun tempat-tempat berdagang mereka itu harus terletak di sebelah luar Bait Allah. Sebaliknyalah yang terjadi: “kota” dibawa masuk ke dalam Bait Allah, bukan Kerajaan Allah dibawa masuk ke dalam kota.

Yesus memiliki semangat yang sama sehubungan dengan hati kita (Bait Roh Kudus; 1Kor 6:19) seperti semangat-Nya sehubungan dengan Bait Allah. Apakah kita pernah memperkenankan bisnis dunia (ada yang diperlukan secara mutlak) sepenuhnya mendominir hati kita? Pernahkah kita memperkenankan emosi-emosi kita untuk mempengaruhi keputusan-keputusan dan menghalangi jalan kita bersama Allah? Yesus ingin mengangkat humanitas kita sehingga menjadi cerminan diri-Nya. Roh Kudus-Nya ingin sekali membuat diri kita seperti Yesus sehingga memampukan kita menunjukkan kepada dunia apa artinya menjadi sepenuhnya hidup!

DOA: Tuhan Yesus, datanglah dan masuklah ke dalam hatiku, dan bersihkanlah segala sesuatu yang tidak berkenan di mata-Mu. Buanglah jauh-jauh “pasar hiruk pikuk” yang berada di pusat hatiku sehingga yang ada adalah ruangan untuk-Mu saja. Tuhan Yesus, jadikanlah hatiku seperti hati-Mu. Amin.

Posted by Kasih Yesus on 8:48 AM . Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

2010 Kasih Yesus Kristus . All Rights Reserved. - Written by Frans Firdaus